Rabu, 25 November 2009

SEMANGAT PAHLAWAN KU

Masuknya Tentara Jepang ke Indonesia

Pada 1 Maret 1942, tentara Jepang mendarat di Pulau Jawa, dan tujuh hari kemudian, tepatnya, Maret, pemerintah kolonial Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang berdasarkan perjanjian Kalidjati. Sejak itulah, Indonesia diduduki oleh Jepang.

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

Tiga tahun kemudian, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu setelah dijatuhkannya bom atom (oleh Amerika Serikat) di Hiroshima dan Nagasaki. Peristiwa itu terjadi pada bulan Agustus 1945. Mengisi kekosongan tersebut, Indonesia kemudian memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.

Masuknya Tentara Inggris & Belanda

Rakyat dan para pejuang Indonesia berupaya melucuti senjata para tentara Jepang. Maka timbullah pertempuran-pertempuran yang memakan korban di banyak daerah. Ketika gerakan untuk melucuti pasukan Jepang sedang berkobar, tanggal 15 September 1945, tentara Inggris mendarat di Jakarta, kemudian mendarat di Surabaya pada 25 Oktober. Tentara Inggris didatangkan ke Indonesia atas keputusan dan atas nama Sekutu, dengan tugas untuk melucuti tentara Jepang, membebaskan para tawanan yang ditahan Jepang, serta memulangkan tentara Jepang ke negerinya. Tetapi, selain itu, tentara Inggris juga membawa misi mengembalikan Indonesia kepada pemerintah Belanda sebagai jajahannya. NICA (Netherlands Indies Civil Administration) ikut membonceng bersama rombongan tentara Inggris. Itulah yang meledakkan kemarahan rakyat Indonesia di mana-mana.

Insiden di Hotel Yamato, Tunjungan, Surabaya

Setelah munculnya maklumat pemerintah tanggal 31 Agustus 1945 yang menetapkan bahwa mulai 1 September 1945 bendera nasional Sang Merah Putih dikibarkan terus di seluruh Indonesia, gerakan pengibaran bendera makin meluas ke segenap pelosok kota.

Di berbagai tempat strategis dan tempat-tempat lainnya, susul menyusul bendera dikibarkan. Antara lain di teras atas Gedung Kantor Karesidenan (kantor Syucokan, gedung Gubernuran sekarang, Jl Pahlawan) yang terletak di muka gedung Kempeitai (sekarang Tugu Pahlawan), di atas gedung Internatio, disusul barisan pemuda dari segala penjuru Surabaya yang membawa bendera merah putih datang ke Tambaksari (lapangan Gelora 10 November) untuk menghadiri rapat raksasa yang diselenggarakan oleh Barisan Pemuda Surabaya.

Saat itu lapangan Tambaksari penuh lambaian bendera merah putih, disertai pekik 'Merdeka' mendengung di angkasa. Walaupun pihak Kempeitai melarang diadakannya rapat tersebut, namun mereka tidak berdaya menghadapi massa rakyat yang semangatnya tengah menggelora itu. Klimaks gerakan pengibaran bendera di Surabaya terjadi pada insiden perobekan bendera di Yamato Hoteru/Hotel Yamato atau Oranje Hotel, Jl. Tunjungan no. 65 Surabaya.

Mula-mula Jepang dan Indo-Belanda yang sudah keluar dari interniran menyusun suatu organisasi, Komite Kontak Sosial, yang mendapat bantuan penuh dari Jepang. Terbentuknya komite ini disponsori oleh Palang Merah Internasional (Intercross). Namun, berlindung dibalik Intercross mereka melakukan kegiatan politik. Mereka mencoba mengambil alih gudang-gudang dan beberapa tempat telah mereka duduki, seperti Hotel Yamato. Pada 18 September 1945, datanglah di Surabaya (Gunungsari) opsir-opsir Sekutu dan Belanda dari Allied Command (utusan Sekutu) bersama-sama dengan rombongan Intercross dari Jakarta.

Rombongan Sekutu oleh Jepang ditempatkan di Hotel Yamato, Jl Tunjungan 65, sedangkan rombongan Intercross di Gedung Setan, Jl Tunjungan 80 Surabaya, tanpa seijin Pemerintah Karesidenan Surabaya. Dan sejak itu Hotel Yamato dijadikan markas RAPWI (Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees, Bantuan Rehabilitasi untuk Tawanan Perang dan Interniran).

Karena kedudukannya merasa kuat, sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch Ploegman pada sore hari tanggal 18 September 1945, tepatnya pukul 21.00, mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru), tanpa persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat teratas Hotel Yamato, sisi sebelah utara. Keesokan hari ketika pemuda Surabaya melihatnya, seketika meledak amarahnya. Mereka menganggap Belanda mau menancapkan kekuasannya kembali di negeri Indonesia, dan dianggap melecehkan gerakan pengibaran bendera yang sedang berlangsung di Surabaya.

Begitu kabar tersebut tersebar di seluruh kota Surabaya, sebentar saja Jl. Tunjungan dibanjiri oleh rakyat, mulai dari pelajar berumur belasan tahun hingga pemuda dewasa, semua siap untuk menghadapi segala kemungkinan. Massa terus mengalir hingga memadati halaman hotel serta halaman gedung yang berdampingan penuh massa dengan luapan amarah. Agak ke belakang halaman hotel, beberapa tentara Jepang tampak berjaga-jaga. Situasi saat itu menjadi sangat eksplosif.

Tak lama kemudian Residen Sudirman datang. Kedatangan pejuang dan diplomat ulung yang waktu itu menjabat sebagai Wakil Residen (Fuku Syuco Gunseikan) yang masih diakui pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu, sekaligus sebagai Residen Daerah Surabaya Pemerintah RI, menyibak kerumunan massa lalu masuk ke hotel. Ia ingin berunding dengan Mr. Ploegman dan kawan-kawan. Dalam perundingan itu Sudirman meminta agar bendera Triwarna segera diturunkan.

Ploegman menolak, bahkan dengan kasar mengancam, "Tentara Sekutu telah menang perang, dan karena Belanda adalah anggota Sekutu, maka sekarang Pemerintah Belanda berhak menegakkan kembali pemerintahan Hindia Belanda. Republik Indonesia? Itu tidak kami akui." Sambil mengangkat revolver, Ploegman memaksa Sudirman untuk segera pergi dan membiarkan bendera Belanda tetap berkibar.

Melihat gelagat tidak menguntungkan itu, pemuda Sidik dan Hariyono yang mendampingi Sudirman mengambil langkah taktis. Sidik menendang revolver dari tangan Ploegman. Revolver itu terpental dan meletus tanpa mengenai siapapun. Hariyono segera membawa Sudirman ke luar, sementara Sidik terus bergulat dengan Ploegman dan mencekiknya hingga tewas. Beberapa tentara Belanda menyerobot masuk karena mendengar letusan pistol, dan sambil menghunus pedang panjang lalu disabetkan ke arah Sidik. Sidik pun tersungkur.

Di luar hotel, para pemuda yang mengetahui kejadian itu langsung merangsek masuk ke hotel dan terjadilah perkelahian di ruang muka hotel. Sebagian yang lain, berebut naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda. Hariyono yang semula bersama Sudirman turut terlibat dalam pemanjatan tiang bendera. Akhirnya ia bersama Kusno Wibowo berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek bagian birunya, dan mengereknya ke puncak tiang kembali. Massa rakyat menyambut keberhasilan pengibaran bendera merah putih itu dengan pekik "Merdeka" berulang kali, sebagai tanda kemenangan, kehormatan dan kedaulatan negara RI.

Kemudian meletuslah pertempuran pertama antara Indonesia melawan tentara Inggris pada 27 Oktober 1945. Serangan-serangan kecil itu ternyata dikemudian hari berubah menjadi serangan umum yang hampir membinasakan seluruh tentara Inggris, sebelum akhirnya Jenderal D.C. Hawthorn meminta bantuan Presiden Sukarno untuk meredakan situasi.

Kematian Brigadir Jenderal Mallaby

Mobil Brigadir Jenderal Mallaby yang meledak di dekat Gedung Internatio

Setelah diadakannya gencatan senjata antara pihak Indonesia dan pihak tentara Inggris ditandatangani tanggal 29 Oktober 1945, keadaan berangsur-angsur mereda. Tetapi walau begitu tetap saja terjadi keributan antara rakyat dan tentara Inggris di Surabaya. Bentrokan-bentrokan bersenjata dengan tentara Inggris di Surabaya, memuncak dengan terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, (pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur), pada 30 Oktober 1945. Mobil Buick yang sedang ditumpangi Brigjen Mallaby dicegat oleh sekelompok milisi Indonesia ketika akan melewati Jembatan Merah. Karena terjadi salah paham, maka terjadilah tembak menembak yang akhirnya membuat mobil jenderal Inggris itu meledak terkena tembakan. Mobil itu pun hangus.

Ultimatum 10 November 1945

Setelah terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, penggantinya (Mayor Jenderal Mansergh) mengeluarkan ultimatum yang merupakan penghinaan bagi para pejuang dan rakyat umumnya. Dalam ultimatum itu disebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum adalah jam 6.00 pagi tanggal 10 November 1945.

Ultimatum tersebut ditolak oleh Indonesia. Sebab, Republik Indonesia waktu itu sudah berdiri (walaupun baru saja diproklamasikan), dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) sebagai alat negara juga telah dibentuk.

Selain itu, banyak sekali organisasi perjuangan yang telah dibentuk masyarakat, termasuk di kalangan pemuda, mahasiswa dan pelajar. Badan-badan perjuangan itu telah muncul sebagai manifestasi tekad bersama untuk membela republik yang masih muda, untuk melucuti pasukan Jepang, dan untuk menentang masuknya kembali kolonialisme Belanda (yang memboncengi kehadiran tentara Inggris di Indonesia).

Pada 10 November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan besar-besaran dan dahsyat sekali, dengan mengerahkan sekitar 30.000 serdadu, 50 pesawat terbang, dan sejumlah besar kapal perang.

Berbagai bagian kota Surabaya dihujani bom, ditembaki secara membabi-buta dengan meriam dari laut dan darat. Ribuan penduduk menjadi korban, banyak yang meninggal dan lebih banyak lagi yang luka-luka. Tetapi, perlawanan pejuang-pejuang juga berkobar di seluruh kota, dengan bantuan yang aktif dari penduduk.

Pihak Inggris menduga bahwa perlawanan rakyat Indonesia di Surabaya bisa ditaklukkan dalam tempo 3 hari saja, dengan mengerahkan persenjataan modern yang lengkap, termasuk pesawat terbang, kapal perang, tank, dan kendaraan lapis baja yang cukup banyak.

Namun di luar dugaan, ternyata para tokoh-tokoh masyarakat yang terdiri dari kalangan ulama' serta kyai-kyai pondok Jawa seperti KH. Hasyim Asy'ari, KH. Wahab Hasbullah serta kyai-kyai pesantren lainnya mengerahkan santri-santri mereka dan masyarakat umum (pada waktu itu masyarakat tidak begitu patuh kepada pemerintahan tetapi mereka lebih patuh dan taat kepada para kyai) juga ada pelopor muda seperti Bung Tomo dan lainnya. Sehingga perlawanan itu bisa bertahan lama, berlangsung dari hari ke hari, dan dari minggu ke minggu lainnya. Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara spontan dan tidak terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran besar-besaran ini memakan waktu sampai sebulan, sebelum seluruh kota jatuh di tangan pihak Inggris.

Peristiwa berdarah di Surabaya ketika itu juga telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan. Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat yang menjadi korban ketika itulah yang kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan.

SEMANGAT PAHLAWAN KU

Masuknya Tentara Jepang ke Indonesia

Pada 1 Maret 1942, tentara Jepang mendarat di Pulau Jawa, dan tujuh hari kemudian, tepatnya, 8 Maret, pemerintah kolonial Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang berdasarkan perjanjian Kalidjati. Sejak itulah, Indonesia diduduki oleh Jepang.

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

Tiga tahun kemudian, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu setelah dijatuhkannya bom atom (oleh Amerika Serikat) di Hiroshima dan Nagasaki. Peristiwa itu terjadi pada bulan Agustus 1945. Mengisi kekosongan tersebut, Indonesia kemudian memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.

Masuknya Tentara Inggris & Belanda

Rakyat dan para pejuang Indonesia berupaya melucuti senjata para tentara Jepang. Maka timbullah pertempuran-pertempuran yang memakan korban di banyak daerah. Ketika gerakan untuk melucuti pasukan Jepang sedang berkobar, tanggal 15 September 1945, tentara Inggris mendarat di Jakarta, kemudian mendarat di Surabaya pada 25 Oktober. Tentara Inggris didatangkan ke Indonesia atas keputusan dan atas nama Sekutu, dengan tugas untuk melucuti tentara Jepang, membebaskan para tawanan yang ditahan Jepang, serta memulangkan tentara Jepang ke negerinya. Tetapi, selain itu, tentara Inggris juga membawa misi mengembalikan Indonesia kepada pemerintah Belanda sebagai jajahannya. NICA (Netherlands Indies Civil Administration) ikut membonceng bersama rombongan tentara Inggris. Itulah yang meledakkan kemarahan rakyat Indonesia di mana-mana.

Insiden di Hotel Yamato, Tunjungan, Surabaya

Setelah munculnya maklumat pemerintah tanggal 31 Agustus 1945 yang menetapkan bahwa mulai 1 September 1945 bendera nasional Sang Merah Putih dikibarkan terus di seluruh Indonesia, gerakan pengibaran bendera makin meluas ke segenap pelosok kota.

Di berbagai tempat strategis dan tempat-tempat lainnya, susul menyusul bendera dikibarkan. Antara lain di teras atas Gedung Kantor Karesidenan (kantor Syucokan, gedung Gubernuran sekarang, Jl Pahlawan) yang terletak di muka gedung Kempeitai (sekarang Tugu Pahlawan), di atas gedung Internatio, disusul barisan pemuda dari segala penjuru Surabaya yang membawa bendera merah putih datang ke Tambaksari (lapangan Gelora 10 November) untuk menghadiri rapat raksasa yang diselenggarakan oleh Barisan Pemuda Surabaya.

Saat itu lapangan Tambaksari penuh lambaian bendera merah putih, disertai pekik 'Merdeka' mendengung di angkasa. Walaupun pihak Kempeitai melarang diadakannya rapat tersebut, namun mereka tidak berdaya menghadapi massa rakyat yang semangatnya tengah menggelora itu. Klimaks gerakan pengibaran bendera di Surabaya terjadi pada insiden perobekan bendera di Yamato Hoteru/Hotel Yamato atau Oranje Hotel, Jl. Tunjungan no. 65 Surabaya.

Mula-mula Jepang dan Indo-Belanda yang sudah keluar dari interniran menyusun suatu organisasi, Komite Kontak Sosial, yang mendapat bantuan penuh dari Jepang. Terbentuknya komite ini disponsori oleh Palang Merah Internasional (Intercross). Namun, berlindung dibalik Intercross mereka melakukan kegiatan politik. Mereka mencoba mengambil alih gudang-gudang dan beberapa tempat telah mereka duduki, seperti Hotel Yamato. Pada 18 September 1945, datanglah di Surabaya (Gunungsari) opsir-opsir Sekutu dan Belanda dari Allied Command (utusan Sekutu) bersama-sama dengan rombongan Intercross dari Jakarta.

Rombongan Sekutu oleh Jepang ditempatkan di Hotel Yamato, Jl Tunjungan 65, sedangkan rombongan Intercross di Gedung Setan, Jl Tunjungan 80 Surabaya, tanpa seijin Pemerintah Karesidenan Surabaya. Dan sejak itu Hotel Yamato dijadikan markas RAPWI (Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees, Bantuan Rehabilitasi untuk Tawanan Perang dan Interniran).

Karena kedudukannya merasa kuat, sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch Ploegman pada sore hari tanggal 18 September 1945, tepatnya pukul 21.00, mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru), tanpa persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat teratas Hotel Yamato, sisi sebelah utara. Keesokan hari ketika pemuda Surabaya melihatnya, seketika meledak amarahnya. Mereka menganggap Belanda mau menancapkan kekuasannya kembali di negeri Indonesia, dan dianggap melecehkan gerakan pengibaran bendera yang sedang berlangsung di Surabaya.

Begitu kabar tersebut tersebar di seluruh kota Surabaya, sebentar saja Jl. Tunjungan dibanjiri oleh rakyat, mulai dari pelajar berumur belasan tahun hingga pemuda dewasa, semua siap untuk menghadapi segala kemungkinan. Massa terus mengalir hingga memadati halaman hotel serta halaman gedung yang berdampingan penuh massa dengan luapan amarah. Agak ke belakang halaman hotel, beberapa tentara Jepang tampak berjaga-jaga. Situasi saat itu menjadi sangat eksplosif.

Tak lama kemudian Residen Sudirman datang. Kedatangan pejuang dan diplomat ulung yang waktu itu menjabat sebagai Wakil Residen (Fuku Syuco Gunseikan) yang masih diakui pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu, sekaligus sebagai Residen Daerah Surabaya Pemerintah RI, menyibak kerumunan massa lalu masuk ke hotel. Ia ingin berunding dengan Mr. Ploegman dan kawan-kawan. Dalam perundingan itu Sudirman meminta agar bendera Triwarna segera diturunkan.

Ploegman menolak, bahkan dengan kasar mengancam, "Tentara Sekutu telah menang perang, dan karena Belanda adalah anggota Sekutu, maka sekarang Pemerintah Belanda berhak menegakkan kembali pemerintahan Hindia Belanda. Republik Indonesia? Itu tidak kami akui." Sambil mengangkat revolver, Ploegman memaksa Sudirman untuk segera pergi dan membiarkan bendera Belanda tetap berkibar.

Melihat gelagat tidak menguntungkan itu, pemuda Sidik dan Hariyono yang mendampingi Sudirman mengambil langkah taktis. Sidik menendang revolver dari tangan Ploegman. Revolver itu terpental dan meletus tanpa mengenai siapapun. Hariyono segera membawa Sudirman ke luar, sementara Sidik terus bergulat dengan Ploegman dan mencekiknya hingga tewas. Beberapa tentara Belanda menyerobot masuk karena mendengar letusan pistol, dan sambil menghunus pedang panjang lalu disabetkan ke arah Sidik. Sidik pun tersungkur.

Di luar hotel, para pemuda yang mengetahui kejadian itu langsung merangsek masuk ke hotel dan terjadilah perkelahian di ruang muka hotel. Sebagian yang lain, berebut naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda. Hariyono yang semula bersama Sudirman turut terlibat dalam pemanjatan tiang bendera. Akhirnya ia bersama Kusno Wibowo berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek bagian birunya, dan mengereknya ke puncak tiang kembali. Massa rakyat menyambut keberhasilan pengibaran bendera merah putih itu dengan pekik "Merdeka" berulang kali, sebagai tanda kemenangan, kehormatan dan kedaulatan negara RI.

Kemudian meletuslah pertempuran pertama antara Indonesia melawan tentara Inggris pada 27 Oktober 1945. Serangan-serangan kecil itu ternyata dikemudian hari berubah menjadi serangan umum yang hampir membinasakan seluruh tentara Inggris, sebelum akhirnya Jenderal D.C. Hawthorn meminta bantuan Presiden Sukarno untuk meredakan situasi.

Kematian Brigadir Jenderal Mallaby

Mobil Brigadir Jenderal Mallaby yang meledak di dekat Gedung Internatio

Setelah diadakannya gencatan senjata antara pihak Indonesia dan pihak tentara Inggris ditandatangani tanggal 29 Oktober 1945, keadaan berangsur-angsur mereda. Tetapi walau begitu tetap saja terjadi keributan antara rakyat dan tentara Inggris di Surabaya. Bentrokan-bentrokan bersenjata dengan tentara Inggris di Surabaya, memuncak dengan terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, (pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur), pada 30 Oktober 1945. Mobil Buick yang sedang ditumpangi Brigjen Mallaby dicegat oleh sekelompok milisi Indonesia ketika akan melewati Jembatan Merah. Karena terjadi salah paham, maka terjadilah tembak menembak yang akhirnya membuat mobil jenderal Inggris itu meledak terkena tembakan. Mobil itu pun hangus.

Ultimatum 10 November 1945

Setelah terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, penggantinya (Mayor Jenderal Mansergh) mengeluarkan ultimatum yang merupakan penghinaan bagi para pejuang dan rakyat umumnya. Dalam ultimatum itu disebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum adalah jam 6.00 pagi tanggal 10 November 1945.

Ultimatum tersebut ditolak oleh Indonesia. Sebab, Republik Indonesia waktu itu sudah berdiri (walaupun baru saja diproklamasikan), dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) sebagai alat negara juga telah dibentuk.

Selain itu, banyak sekali organisasi perjuangan yang telah dibentuk masyarakat, termasuk di kalangan pemuda, mahasiswa dan pelajar. Badan-badan perjuangan itu telah muncul sebagai manifestasi tekad bersama untuk membela republik yang masih muda, untuk melucuti pasukan Jepang, dan untuk menentang masuknya kembali kolonialisme Belanda (yang memboncengi kehadiran tentara Inggris di Indonesia).

Pada 10 November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan besar-besaran dan dahsyat sekali, dengan mengerahkan sekitar 30.000 serdadu, 50 pesawat terbang, dan sejumlah besar kapal perang.

Berbagai bagian kota Surabaya dihujani bom, ditembaki secara membabi-buta dengan meriam dari laut dan darat. Ribuan penduduk menjadi korban, banyak yang meninggal dan lebih banyak lagi yang luka-luka. Tetapi, perlawanan pejuang-pejuang juga berkobar di seluruh kota, dengan bantuan yang aktif dari penduduk.

Pihak Inggris menduga bahwa perlawanan rakyat Indonesia di Surabaya bisa ditaklukkan dalam tempo 3 hari saja, dengan mengerahkan persenjataan modern yang lengkap, termasuk pesawat terbang, kapal perang, tank, dan kendaraan lapis baja yang cukup banyak.

Namun di luar dugaan, ternyata para tokoh-tokoh masyarakat yang terdiri dari kalangan ulama' serta kyai-kyai pondok Jawa seperti KH. Hasyim Asy'ari, KH. Wahab Hasbullah serta kyai-kyai pesantren lainnya mengerahkan santri-santri mereka dan masyarakat umum (pada waktu itu masyarakat tidak begitu patuh kepada pemerintahan tetapi mereka lebih patuh dan taat kepada para kyai) juga ada pelopor muda seperti Bung Tomo dan lainnya. Sehingga perlawanan itu bisa bertahan lama, berlangsung dari hari ke hari, dan dari minggu ke minggu lainnya. Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara spontan dan tidak terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran besar-besaran ini memakan waktu sampai sebulan, sebelum seluruh kota jatuh di tangan pihak Inggris.

Peristiwa berdarah di Surabaya ketika itu juga telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan. Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat yang menjadi korban ketika itulah yang kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan.

Senin, 09 November 2009

BUMIKU RUMAHKU

Lihat gambar ukuran penuh










Bumi adalah tempat yang sangat indah bagi mahkluk hidup ciptaan Allah.....Dan kita sebagai ciptaannya harus bisa melindungi dan menjaga apa-apa yang telah diberikannya.Jadi jaga Bumi kita yach...................OK!!!

Kamis, 05 November 2009


sumpah pemuda

Tanggal 28 Oktober, 77 tahun yang lalu, merupakan salah satu hari bersejarah di Indonesia. Mengapa disebut hari sumpah pemuda? Jawabannya karena pada tanggal 28 Oktober 1928, perwakilan pemuda dari pulau Jawa, Sumatra, Sulawesi dan pulau lainnya berkumpul dalam sebuah kongres pemuda ke-2. dan menghasilkan beberapa sumpah dari kongres itu, di antaranya bersumpah bertanah air satu, tanah air Indonesia. Makanya hari tersebut disebut hari 'Sumpah Pemuda'. Isi sumpah lainnya adalah 'berbahasa satu, bahasa Indonesia'. Pada saat kongres tersebut hanya sedikit para pemuda tersebut lancar berbahasa Indonesia, yang paling fasih saat itu hanyalah Muhammad Yamin. Karena sangat pentingnya hari tersebut, dibuatlah satu museum yang dikenal dengan nama museum sumpah pemuda. Nah, berikut sedikit gambaran tentang museum sumpah pemuda. Beberapa pemuda dan mahasiswa berkumpul di satu ruangan. Enam orang duduk di belakang meja yang beralaskan kain warna hijau. Di sebelahnya seorang lagi menggesekkan biolanya. Dan sejarah mengabadikan peristiwa penting ini. Sumpah Pemuda diikrarkan, lagu Indonesia Raya dikumandangkan. Itulah diorama suasana Kongres Pemuda II yang berada di Ruang Kongres, satu diantara ruang di dalam Museum Sumpah Pemuda. Ruang ini memang memiliki daya tarik tersendiri. Seiring dengan ikrar Sumpah Pemuda yang berkumandang untuk bertumpah darah satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu: Indonesia, tampillah WR Supratman melantunkan lagu Indonesia Raya. Hasil kongres terpampang di dinding dalam ukuran besar. Gedung yang resmi menjadi Museum Sumpah Pemuda sejak 1974 ini dulu adalah Gedung Kramat 106. Menurut sejarahnya, awalnya Gedung Kramat 106 milik Sio Kong Liong. Periode 1908-1934 gedung tersebut disewa oleh mahasiswa STOVIA yang tergabung dalam Indonesische Clubgebouw dan digunakan sebagai tempat berbagai aktivitas. Sebelum tercetusnya Sumpah Pemuda, tercatat di sini lahir organisasi-organisasi kedaerahan, seperti Jong Java, Jong Sumatera, Jong Selebes, Jong Islamieten, dan sebagainya. Dalam perkembangannya, suasana diskusi dan pertemuan-pertemuan dilakukan untuk membahas berbagai permasalahan, baik politik, sosial kemasyarakatan dan sebagainya. Dari rutinitas para mahasiswa dan pemuda inilah yang kemudian menumbuhkan benih-benih semangat untuk bersatu dengan meninggalkan paham kedaerahan. Puncaknya tertuang dalam keputusan Kongres Pemuda II yang berlangsung di Gedung Kramat 106 pada 27-28 Oktober 1928. Keputusan Kongres Pemuda itu dikenal dengan Sumpah Pemuda. Gedung

sumpah pemuda

Tanggal 28 Oktober, 77 tahun yang lalu, merupakan salah satu hari bersejarah di Indonesia. Mengapa disebut hari sumpah pemuda? Jawabannya karena pada tanggal 28 Oktober 1928, perwakilan pemuda dari pulau Jawa, Sumatra, Sulawesi dan pulau lainnya berkumpul dalam sebuah kongres pemuda ke-2. dan menghasilkan beberapa sumpah dari kongres itu, di antaranya bersumpah bertanah air satu, tanah air Indonesia. Makanya hari tersebut disebut hari 'Sumpah Pemuda'. Isi sumpah lainnya adalah 'berbahasa satu, bahasa Indonesia'. Pada saat kongres tersebut hanya sedikit para pemuda tersebut lancar berbahasa Indonesia, yang paling fasih saat itu hanyalah Muhammad Yamin. Karena sangat pentingnya hari tersebut, dibuatlah satu museum yang dikenal dengan nama museum sumpah pemuda. Nah, berikut sedikit gambaran tentang museum sumpah pemuda. Beberapa pemuda dan mahasiswa berkumpul di satu ruangan. Enam orang duduk di belakang meja yang beralaskan kain warna hijau. Di sebelahnya seorang lagi menggesekkan biolanya. Dan sejarah mengabadikan peristiwa penting ini. Sumpah Pemuda diikrarkan, lagu Indonesia Raya dikumandangkan. Itulah diorama suasana Kongres Pemuda II yang berada di Ruang Kongres, satu diantara ruang di dalam Museum Sumpah Pemuda. Ruang ini memang memiliki daya tarik tersendiri. Seiring dengan ikrar Sumpah Pemuda yang berkumandang untuk bertumpah darah satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu: Indonesia, tampillah WR Supratman melantunkan lagu Indonesia Raya. Hasil kongres terpampang di dinding dalam ukuran besar. Gedung yang resmi menjadi Museum Sumpah Pemuda sejak 1974 ini dulu adalah Gedung Kramat 106. Menurut sejarahnya, awalnya Gedung Kramat 106 milik Sio Kong Liong. Periode 1908-1934 gedung tersebut disewa oleh mahasiswa STOVIA yang tergabung dalam Indonesische Clubgebouw dan digunakan sebagai tempat berbagai aktivitas. Sebelum tercetusnya Sumpah Pemuda, tercatat di sini lahir organisasi-organisasi kedaerahan, seperti Jong Java, Jong Sumatera, Jong Selebes, Jong Islamieten, dan sebagainya. Dalam perkembangannya, suasana diskusi dan pertemuan-pertemuan dilakukan untuk membahas berbagai permasalahan, baik politik, sosial kemasyarakatan dan sebagainya. Dari rutinitas para mahasiswa dan pemuda inilah yang kemudian menumbuhkan benih-benih semangat untuk bersatu dengan meninggalkan paham kedaerahan. Puncaknya tertuang dalam keputusan Kongres Pemuda II yang berlangsung di Gedung Kramat 106 pada 27-28 Oktober 1928. Keputusan Kongres Pemuda itu dikenal dengan Sumpah Pemuda. Gedung

Jumat, 23 Oktober 2009

penghargaan penghijauan

Kuantan Singingi Menerima Penghargaan Lomba Penghijauan

0 komentar

Alhamdulillahirrabil alamin Kabupaten Kuantan Singingi lagi-lagi dapetin senbuah Penghargaan yaitu, Penghargaan Juara Lomba Penghijaun dan Konservasi Alam TK. Nasional dari Menteri Kehutanan MS. Kaban.memang kuantan singingi nggak ada matinya kalo dilihat dari segi penghijaun alamnya,jadi sudah pantas pula kab.kuantan singingi ini mendapatkan penghargaan ini karena dari dulu sampai sekarang kuantan singngi selalu mementingkan hutan dan alamnya,walaupun kayu-kayu di ambil untuk membuat jalur tapi tidak dibiarkan begitu saja tapi ditanami sesudah itu,sekarang hutan kuansing tetap terjaga dech.............

Jumat, 11 September 2009

MALAYSIA tak KREATIF

"Malaysia tak Kreatif"

Menurut saya, negara malaysia itu memang negara yang tak kreatif, mengapa???
Karena negara itu hanya bisa mengklaim kekayaan budaya Indonesia. Kita contohkan sajatari piring dari Sumatra Barat, tari Reog Ponorogo dari Jawa Timur, tari lumping yang juga dari Jawa Timur dan juga tari Pendet dari Bali.

Oleh karena itu teman2, marilah kita melindungi dan melestarikan kebudayaan kita. Jangan sampai negara lain mencurinya.

Terakhir, saya masukan untuk negara Malaysia, "Kalau ingin memiliki sesuatu minta izin dulu. Karena kalau mencuri berarti mencari Gara2.

By: Pecinta Indonesia

TEATER

TEATER TRADISIONAL

-Teater tradisional digunakan sebagai sarana hiburan dan juga sebagai sarana upacara
-Teater tradisional juga sebagai media ekspresi, bukan hanya saja buat para tokoh, pemain,
sutradara, namun juga sebagai ekspresi untuk mengkritisi sesuatu hal yang ada di dalam teater.

Contoh teater tradisional, yaitu:
-Ludruk(jawatimur)
-Lenong(Jakarta-Betawi)
Ketoprak(Jawa Tengah)
Randai(Sumatra Barat, Riau

Teater Modern
Adalah teater yang dipengaruhi oleh budaya barat.
Contohnya:-Opera Romeo dan Juliet

Kamis, 27 Agustus 2009

HALIVA MUHAROSA

XI IPA 2

GBP:RONALDO ROZALINO

PACU JALUR..................TRADISI KUANTAN SINGINGI

Menurut saya pacu jalur yang di adakan kemaren,sudah membaik karena pada tahun belakang pacu jalur yang di adakan ada pertengkarannya,sehingga memberi kesan yang buruk pada penonton.pacu jalur yang di adakan pada tahun ini sudah tidak ada lagi pertengkaran.

Pacu Jalur Kuansing


Pacu Jalur adalah perlombaan tradisional Kabupaten Kuantan Sengingi. Nama "Pacu Jalur" merupakan sebutan dari sampan panjang dengan nama Jalur yang digunakan untuk berpacu atau berlomba. Untuk tahun ini sudah dimulai sejak Rabu dan bekahir pada Minggu 24 Agustus.

Satu Jalur terdiri 50-an orang, dan mereka mendayung semua, kecuali dua orang yaitu satu anak kecil diujung depan sampan yang terkadang berdiri dan menari-menari mengikut irama dayung dan satu lagi berdiri seperti Pawang. Dia berperan sebagai pemberi irama dayung, sang Pawang bukan orang sembarangan karena tugasnya tidak mudah dalam bersinergi dengan lajunya Jalur karena perlombaan Pacu Jalur ini sangat sarat dengan nilai Magis.

Mereka berpacu di Sungai Kuantan yang dikenal dengan nama Batang Kuantan. Lintasan pacu kurang lebih 2 km. Aba-aba start, dengan meriam bambu, dimulai apabila ujung depan semua jalur sudah benar-benar pada satu garis lurus, memang tidak mudah melihat arus sungai yang tidak tenang.

Nah setelah melewati garis finish, semua peserta Pacu Jalur berputar balik dan menjalankan jalurnya lebih pelan ketika melewati Tribun VIP. Untuk final tahun 2008 yang mengisi tribun VIP Pacu Jalur adalah Sukarmis, Bupati Kuantan Sengingi saat ini. Hadiah untuk para juaranya lomba Pacu Jalur ini biasanya adalah berupa sapi atau kerbau yang jumlahnya bisa 7 ekor
.

Senin, 25 Mei 2009

Musik Renaisans


Musik Renaisans adalah musik klasik yang digubah pada Zaman Renaisans, sekitar tahun 1450 sampai dengan 1600. Penentuan batas awal zaman musik ini sulit dilakukan karena tidak terdapat perubahan besar dalam musik pada abad ke-15, selain juga bahwa musik dalam perkembangannya mendapatkan ciri-ciri "Renaisans" secara bertahap. Zaman ini berlangsung sesudah Zaman Pertengahan dan sebelum Zaman Barok. Beberapa komponis dari zaman ini adalah Giovanni Pierluigi da Palestrina, Orlande de Lassus, dan William Byrd.

Musik Barok


Musik Barok adalah musik klasik barat yang digubah pada Zaman Barok (Baroque), kira-kira antara tahun 1600 dan 1750. Zaman ini berlangsung sesudah Zaman Renaisans dan sebelum Zaman Klasik. Sebenarnya, kata "Barok" itu berarti "mutiara yang tidak berbentuk wajar", sangat pas dengan seni dan perancangan bangunan pada era ini; kemudian kata ini juga dipakai untuk jenis musik itu. Beberapa komponis Zaman Barok adalah Claudio Monteverdi, Henry Purcell, Johann Sebastian Bach, Jean-Philippe Rameau, George Frideric Handel, dan Antonio Vivaldi.

Pada zaman tersebut, piano belum ditemukan, dan komposisi dikarang untuk hapsicord. Partitur musik di zaman Barok ditandai dengan tidak adanya iringan atau polifoni. Karya JS Bach untuk hapsicord lazim mempunyai dua melodi atau lebih untuk tangan kanan dan tangan kiri.

Musik Barok lazimnya hanya mencerminkan satu jenis emosi saja. Dibanding dengan Musik Klasik dan Romantik, musik Barok jarang mempunyai modulasi atau rubato. Untuk komposisi piano, pedal jarang digunakan saat memainkan musik Barok.


Zaman Klasik (Musik)


Zaman Klasik atau Periode Klasik dalam sejarah musik Barat berlangsung selama sebagian besar abad ke-18 sampai dengan awal abad ke-19. Walaupun istilah musik klasik biasanya digunakan untuk menyebut semua jenis musik dalam tradisi ini, istilah tersebut juga digunakan untuk menyebut musik dari zaman tertentu ini dalam tradisi tersebut. Zaman ini biasanya diberi batas antara tahun 1750 dan 1820, namun dengan batasan tersebut terdapat tumpang tindih dengan zaman sebelum dan sesudahnya, sama seperti pada semua batasan zaman musik yang lain.

Zaman klasik berada di antara Zaman Barok dan Zaman Romantik. Beberapa komponis zaman klasik adalah Joseph Haydn, Muzio Clementi, Johann Ladislaus Dussek, Andrea Luchesi, Antonio Salieri dan Carl Philipp Emanuel Bach, walaupun mungkin komponis yang paling terkenal dari zaman ini adalah Wolfgang Amadeus Mozart dan Ludwig van Beethoven. Ciri Musik Pada Zaman Klasik


1. Menggunakan peralihan dinamik dari lembut sampai keras atau (cressendo)dan dari keras menjadi lembut(decrssendo). 2. Perubahan-perubahan tempo dengan percepatan atau (accelerando) dan perlambatan(ritardando). 3. Hiasan / ornamentik diperhemat pemakaiannya. 4. Pemakaian akord 3 nada.


Zaman Romantik (Musik)

haliva muharosa
art of culture
seni musik
gps:RONALDO ROZALINO,S.Sn

Zaman Romantik dalam sejarah musik Barat berlangsung dari sekitar awal 1800-an sampai dengan dekade pertama abad ke-20. Zaman ini berlangsung sesudah Zaman Klasik dan sebelum Zaman Modern.

Musik Zaman Romantik dikaitkan dengan Gerakan Romantik pada sastra, seni, dan filsafat, walaupun pembatasan zaman yang digunakan dalam musikologi sekarang sangat berbeda dari pembatasan zaman ini dalam seni yang lain (yaitu 1780-an sampai dengan 1840-an).

Beberapa komponis dari zaman ini adalah Franz Schubert, Johann Strauss, Sr., Felix Mendelssohn, Frédéric Chopin, Robert Schumann, Richard Wagner, Giuseppe Verdi, Hector Berlioz, dan Johannes Brahms.